Konflik Mesuji Evaluasi Kebijakan Pertanahan

AKARTA, KOMPAS.com - Kekerasan akibat sengketa lahan antara warga dan perusahaan perkebunan di Kabupaten Mesuji di Lampung dan di Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan hendaknya dijadikan pintu masuk untuk menyelesaikan persoalan serupa di seluruh Indonesia.Pendekatannya harus utuh dengan mencakup kebijakan pertanahan pemerintah di tingkat hulu serta penanganan konflik dan kekerasan di tingkat hilir.


Imbauan itu disampaikan anggota Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nur Kholis, di Jakarta, Kamis (22/12/2011). Komnas HAM telah menurunkan tim investigasi di tiga titik di Kabupaten Mesuji di Lampung dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan telah mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah.
Namun, hingga kini, persoalan itu belum dituntaskan sehingga konflik masih terus berlangsung sampai sekarang. Nur Kholis menilai, kekerasan yang menewaskan sejumlah korban merupakan efek dari sengketa lahan antara warga dan perusahaan perkebunan.
Masalah berakar pada politik agraria yang dijalankan pemerintah, yang mencakup kementerian Kehutanan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkebunan, Pertambangan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selama ini politik pertanahan cenderung mendukung perusahaan perkebunan besar daripada warga yang tinggal atau menggarap lahan tersebut.
"Pemerintah harus mengevaluasi dan menata ulang politik agraria itu. Hentikan sementara (moratorium) semua perizinan penggunaan lahan karena banyak masalah muncul dari sini. Ada pelanggaran batas izin, konflik dengan lahan warga dan tanah adat desa, dan penempatan aparat keamanan untuk menjaga perkebunan. Ini terjadi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur," katanya.
Persoalan ini menjadi rumit karena banyak kepentingan politik, modal, dan kekuasaan daerah yang bermain. Lembaga-lembaga yang berusaha menangani masalah ini kandas, termasuk Komnas HAM.
Pemerintah perlu turun tangan untuk membuat penyelesaian secara menyeluruh dengan skema kebijakan yang jelas. Dalam hal ini, rakyat harus dijadikan asset untuk dilindungi dan diberi hak untuk hidup dan mengembangkan ekonomi.


Pada tingkat hilir, pemerintah harus mengusut dan menindak pelaku kekerasan. Siapa pun yang terlibat kekerasan perlu diproses hukum secara tegas dan adil. Jangan tempatkan rakyat sebagai musuh dan penganggu. Negara harus hadir untuk melindungi rakyat sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945, yaitu negara melindungi seluruh bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia.
"Jadikan kasus Mesuji sebagai pintu masuk untuk menyelesaikan semua kasus serupa di seluruh Indonesia. Jangan tangani secara sepotong-potong. Jika tidak, kasus-kasus serupa akan terus terulang di tempat lain," katanya.

0 komentar:

Posting Komentar

$0D